Para
pedagang Belanda membentuk kongsi dagang dengan nama Vereenigde Oost
Indesche Compagnie (VOC) pada 20 Maret 1602 dengan tujuan untuk
menghindari persaingan yang tidak sehat diantara para pedagang belanda
dan agar lebih kuat untuk bersaing dengan bangsa barat. VOC
tersebut dibentuk dari empat wilayah di negeri Belanda yaitu Amsterdam,
Zeeland, de Maas, dan Noord Holland. Setiap wilayah yang bergabung
diwakili system majelis yang memiliki sejumlah direktur.
VOC didirikan dengan akta Oktroi dari Staaten Generaal
(Parlemen Belanda). Ia memiliki hak dagang di suatu kawasan yang sangat
luas, terbentang dari Tanjung Pengharapan sampai Selat Magellan,
termasuk pulau-pulau di selatan Pasifik, Kepulauan Jepang, Sri Lanka,
dan Cina Selatan. Selain melakukan perdagangan umum, ekspor impor,
perkapalan yang berskala monopoli, juga diberi kewenangan membentuk
angkatan perang, mengawasi para raja dari kerajaan-kerajaan yang
terdapat di dalam wilayah kekuasaannya, dan atas nama Staaten Generaal
membuat perjanjian dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Ia juga berhak
menyatakan perang dan menerima perdamaian, serta memasksa para rajadi
wilayahnya untuk tunduk kepada kekuasaan dan aparat VOC. Selain itu juga
memiliki kewenangan membuat undang-undang dan peraturan serta membentuk
pengadilan (Read van Justitie) dan mahkamah agung (Hoog Gerechtshof). Untuk lebih jelasnya, Hak Oktrooi VOC yaitu sebagai berikut:
1. VOC mendapat hak monopoli perdagangan
2. Hak VOC untuk mencetak dan mengeluarkan uang sendiri
3. VOC dianggap sebagai wakil pemerintah Belanda di Asia
4. VOC berhak mengadakan perjanjiaan
5. VOC berhak memaklumkan perang dengan negara lain
6. VOC berhak meenjalankan kekuasaan kehakiman
7. VOC berhak mengadakan pemungutan pajak
8. VOC berhak memiliki angkatan perang sendiri.
9. VOC berhak mengadakan pemerintah sendiri.
Sewaktu
pemberian oktrooi pertama pada tahun 1602, tidak ada ketentuan mengenai
hubungan atau kewajiban VOC atas pendidikan dan agama Kristen. Tetapi
pada tahun 1617, Staaten Generaal menginstruksikan gubernur Jenderal dan Raad van Indie
untuk bertanggung jawab menyebarkan agama Kristen serta mengajarkannya
melalui sekolah sekolah dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Pemahaman yang memadai atas bahasa tersebut dipandang penting bagi
pribumi Indonesia penganut agama Kristen.[1]
Tahun
1610 VOC menunjuk Pieter Both sebagai Gubernur Jendral VOC beserta
sejumlah gubernur wilayah. Hal ini dilakaukan untuk memudahkan
koordinasi dalam wilayah yang luas. Both merupakan Gubernur Jenderal VOC
pertama yang memerintah tahun 1610-1614 di Ambon, Maluku. Jan Pieterzoon Coen
yang menjabat 1619-1629 memindahkan pusat VOC dari Ambon ke Jayakarta
(Batavia). Karena letaknya strategis di tengah-tengah Nusantara
memudahkan pelayaran ke Belanda. Sejak 1620, tempat kedudukan gubernur
jendral VOC dipindahkan dari Ternate ke Batavia. Kemudian Maluku
dipimpin oleh seorang gubernur jendral yang berkedudukan di Ternate
sebagai markas besar VOC sebelumnya. Gubernur jendral Ternate tersebut
adalah Frederik de Houtman (1621-1623). Antonio Van Diemen (1636-1645), Joan Maetsycker (1653-1678), Cornelis Speeldman (1681-1684).[2]
Setelah
berpusat di Batavia, VOC melakukan perluasan kekuasaan dengan cara
pendekatan serta campur tangan terhadap kerajaan-kerajaan di Indonesia
seperti di Ternate, Mataram, Banten, Banjar, Sumatra, Gowa
serta Maluku. Perluasan kekuasaan Belanda ke daerah-daerah luar Jawa
benar-benar berbeda dengan perluasan kekuasaannya di Jawa, karena di
sebagian besar daerah luar Jawa tidak pernah ada alasan yang permanen
atau sungguh-sungguh untuk menguasai oleh pihak Belanda.[3]
Hak
monopli VOC yang memaksakan kehendaknya menimbulkan permusuhan terhadap
kerajaan-kerajaan diNusantara. Karena hal tersebut VOC meningkatkan
kekuatan militernya serta membangun benteng-benteng seperti di Ambon,
Makasar, Jayakarta dan lain-lain untuk menghadapi perlawanan bangsa
Indonesia. Hak monopoli perdagangan VOC Indonesia karena melakukan
beberapa hal diantaranya adalah melakukan pelayaran hongi untuk
memberantas penyelundupan. Tindakan yang dilakukan VOC adalah merampas
setiap kapal penduduk yang menjual langsung rempah- rempah kepada
pedagang asing seperti Inggris, Perancis dan Denmark. Melakukan Ekstirpasi,
yaitu penebangan tanaman milik rakyat. Tujuannya adalah mepertahankan
agar harga rempah-rempah tidak merosot bila hasil panen berlebihan.
Melakukan sistem Verplichte Leverantien, merupakan perjanjian
dengan raja-raja setempat terutama yang kalah perang wajib menyerahkan
hasil bumi yang dibutuhkan VOC dengan harga yang ditetapkan VOC.
Kemudian VOC menerapkan sistem Contingenten yang berarti rakyat wajib menyerahkan hasil bumi sebagai pajak.
Sejak awal abad ke-18 VOC telah mengalami kemunduran dan kebangkrutan karena banyaknya
korupsi yang dilakukan oleh pegawai-pegawai VOC, anggaran pegawai
terlalu besar sebagai akibat makin luasnya wilayah kekuasaan VOC, biaya
perang untuk memadamkan perlawanan rakyat terlalu besar, persaingan dengan kongsi dagang negara lain, misalnya dengan EIC milik Inggris, hutang VOC yang sangat besar, pemberian deviden kepada pemegang saham walaupun usahanya mengalami kemunduran, berkembangnya faham Liberalisme sehingga monopoli perdagangan yang diterapkan VOC tidak sesuai lagi untuk diteruskan, pendudukan Perancis terhadap negara Belanda pada tahun 1795.[4]
Akhir
Desember 1799, Pemerintah Belanda memutuskan tidak memperpanjang lagi
hak oktroi VOC yang berakhir 31 Desember 1799. Sehingga sejak 1 Januari
1800, voc dibubarkan secara resmi. Seluruh aktiva dan pasivanya beserta
daerah kekuasaan dan juga pemerintahan di daerah-daerah jajahan diambil
alih pemerintah belanda. Semenjak itulah riwayat perusahaan dagang
terbesar yang hampir 200 tahun berkuasa di Nusantara itu berakhir.[5]
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar