Kerajaan Kalingga / Holing
Peta yang menggambarkan letak pusat kerajaan Kalingga.
Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Nama Ho-ling
sebenarnya muncul ketika terjadi perubahan dengan mulai meluasnya kekuasaan
Wangsa Sailendra. Sebelum perluasan ini, berita Cina dari Dinasti Sung Awal
(420-470 M) menyebut Jawa dengan sebutan She-p’o, akan tetapi kemudian
berita-berita Cina dari Dinasti T’ang (618-906 M) menyebut Jawa dengan sebutan
Ho-ling sampai tahun 818. Namun penyebutan Jawa dengan She-p’o kembali muncul
pada 820-856 M
Catatan dari sumber lokal
Kisah lokal
Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang
Maharani legendaris yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran
dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu
Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak keras
kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang keras yaitu pemotongan tangan
bagi siapa saja yang mencuri. Ada sebuah kisah yang menceritakan tentang ketat
dan disiplinnya pemerintahan di Kerajaan Ho-ling. Ada seorang raja yang
bermaksud untuk menyerang Ho-ling. Dia terlebih dulu mencoba mengamati situasi
Kerajaan Ho-ling dengan cara meletakkan pundi-pundi uang emas di tengah jalan.
Konon warga Ho-ling terkenal dengan kejujurannya, bahkan barang-barang yang
terjatuh tidak ada yang berani untuk mengambilnya. Raja tersebut bernama
Ta-shih. Selama 3 tahun barang
tersebut
aman di jalan dan secara tidak sengaja putra mahkota menginjak barang tersebut.
Maka ratu memerintahkan untuk menghukum mati putra mahkota, tetapi para menteri
mohon ampun padanya dan keputusan diubah dengan memotong kakinya, karena
kakinya yang bersalah. Tak berhenti sampai di situ saja, para menteri juga
memohon ampun lagi sehingga hanya jari-jari kakinya saja yang dipotong.
Mengetahui hal itu, raja Ta-shih mengurungkan niatnya utnuk menyerang Kerajaan
Ho-ling.
Carita Parahyangan
Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima, Parwati, menikah
dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang
bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua
dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga
dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki
anak yang bernama Sanjaya yang kelak
menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732
M).
Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan
buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan
Mataram Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat
diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias
Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.
Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang
diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan
tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan
dari negeri Cina. Pada tahun
752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan
perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga
kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.
Berita Cina
Berita keberadaan
Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal dari zaman Dinasti Tang dan catatan
I-Tsing.
Catatan dari zaman Dinasti Tang
Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M -
906 M) memberikan tentang keterangan Ho-ling sebagai berikut.
- Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah utaranya terletak Ta Hen La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (Pulau Bali) dan di sebelah barat terletak Pulau Sumatera.
- Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
- Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading.
- Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa
- Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.
Catatan dari berita Cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Hsi-mo
(Shima). Ia adalah
seorang ratu yang sangat
adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan
tentram.
Catatan I-Tsing
Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah
menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinayana. Di Ho-ling
ada pendeta Cina
bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke dalam Bahasa Cina. Ia
bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain
memuat cerita tentang Nirwana, tetapi
cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.
Prasasti
Prasasti peninggalan
Kerajaan Ho-ling adalah Prasasti Tukmas. Prasasti
ini ditemukan di ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya
di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti
bertuliskan huruf Pallawa yang
berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan
hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.
Sementara di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, ditemukan Prasasti Sojomerto. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna dan berasal dari sekitar abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.
Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa
Tengah dahulu berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini
menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan
Medang yang berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.
Mata pencaharian
Kerajaan
Ho-ling mempunyai hasil bumiberupa kulit penyu, emas dan perak, cula badak dan
gading. Ada sebuah gua yang selalu mengeluarkan air garam yang disebut sebagai
bledug. Penduduk menghasilkan garam dengan memanfaatkan sumber air garam yang
disebut sebagai bledug tersebut.
Keagamaan
Keagamaan
Salah satu
sumber yang berbicara tentang keagamaan Kerajaan Ho-ling adalah sumber Cina
yang berasal dari catatan perjalanan I-tsing, seorang pendeta agama Budha dari
Cina dan kronik Dinasti Sung. Dikatakan bahwa pada 664-667 M, pendeta Budha
Cina bernama Hwu-ning dengan pembantunya Yun-ki datang ke Ho-ling. Di sana
kedua pendeta tersebut bersama-sama dengan Joh-na po-t’o-lo menerjemahkan Kitab
Budha bagian Nirwana. Terjemahan inilah yang dibawa pulang ke Cina. Menurut
I-tsing, Kitab suci Budha yang diterjemahkan tersebut sangat berbeda dengan
kitab Suci Budha Mahayana. Menurut catatan Dinasti Sung yang memerintah setelah
Dinasti T’ang, terbukti bahwa terjemahan yang diterjemahkan Hwu-Ning dengan
Yun-ki bersama dengan Njnanabhdra itu adalah kitab Nirwana bagian akhir yang
menceritakan tentang pembakaran jenazah sang Budha, dengan sisa tulang yang
tidak habis terbakar dikumpulkan untuk dijadikan relik suci. Dengan demikian
jelas bahwa Ho-ling tidak menganut agama Budha aliran Mahayana, tetapi menganut
agama Budha Hinayana aliran Mulasarastiwada. Kronik Dinasti Sung juga
menyebutkan bahwa yang memimpin dan mentahbiskan Yun-ki menjadi pendeta Budha
adalah Njnanabhadra.
Hubungan dengan negeri luar
Hubungan dengan negeri luar
Pada masa
Chen-kuang (627-649 M) raja Ho-ling bersama dengan raja To-ho-lo To-p’o-teng,
menyerahkan upeti ke Cina. Kaisar Cina mengirimkan balasan yang dengan dibubuhi
cap kerajaan dan raja To-ho-lo meminta kuda-kuda yang terbaik dan dikabulkan
oleh kaisar Cina. Kemudian Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan (upeti lagi)
pada 666 M, 767 M dan 768 M. Utusan yang datang pada 813 M (atau 815 M) datang
dengan mempersembahkan empat budak sheng-chih (jenggi), burung kakatua, dan
burung p’in-chiat (?) dan benda-benda lainnya. Kaisar amat berkenan hatinya
sehingga memberikan gelar kehormatan kepada utusan tersebut. Utusan itu mohon
supaya gelar tersebut diberikan saja kepada adiknya. Kaisar amat terkesan
dengan sikap itu dan memberikan gelar kehormatan kepada keduanya. Sampai dengan
tahun 813 M, Ho-ling masih mengirim utusan ke negeri Cina dengan membawa
“hadiah” berupa empat orang budak Sen-ki, burung kakatua, dan sejumlah jenis
burung lainnya.
Diposkan Oleh : Wira Dwi Susanto
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar