SEJARAH BERDIRINYA KERAJAAN MATARAM ISLAM
Kerajaan
Mataram mulai berdiri tahun 1582, terletak didaerah Kota Gede sebelah tenggara
kota Yogyakarta, kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki ageng
Sela dan Ki Ageng Pemanahan yang mengklaim masih keturunan penguasa Majapahit.
Asal
usul kerajaan ini adalah berasal dari sebuah kadipaten dibawah Kesultanan
Pajang ( Sultan hadiwijaya),berpusat di Bumi Mentaok yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan
sebagai hadiah atas jasanya mengalahkah Arya Penangsang, selanjutnya Ki
Ageng Pemanahan mulai membangun Mataram sebagai tempat pemukiman baru dan
persawahan, akan tetapi kehadiranya didaerah ini dan usaha pembangunanya
mendapatkan tanggapan penguasa setempat, misalnya Ki Ageng Giring, Ki Ageng
Tembayat dan Ki Ageng Mangir. Akan tetapi ada sebagian pejabat yang memberi
sambutan baik akan hal itu seperti Ki Ageng Karanglo, walaupun demikian Ki
Ageng Pemanahan tetap melakukan pembangunan didaerah tersebut yang berpusat di
Plered dan juga mempersiapkan strategi untuk menundukkan siapa saja yang
mementang kehadiranya.
Tahun
1575 Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia dan digantikan oleh putranya bernama
Sutawijaya atau Pangerang Ngabehi Loring Pasar, selain beliau bertekad
melanjutkan mimpi ayahandanya, dia pun bercita – cita untuk membebaskan diri
dari kekuasaan Pajang, sehingga hubungan antara Mataram dan Pajang pun mulai
memburuk hingga berujung peperangan. Dalam peperangan ini kerajaan Pajang
mengalami kekalahan dan Sultan Hadiwijaya meninggal.
Kemudian
Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar panembahan
senopati . ia mulai membangun kerajaanya dan memindahkan pusat pemerintahan di
Kotagede.
Pada
tahun 1590 kerajaan Mataram menaklukan Madiun, Jipang, Kediri kemudian
melanjutkan dengan menaklukan Pasuruan dan Tuban.
Sebagai
raja islam yang baru beliau mempunyai tekad untuk menjadikan Mataram menjadi
pusat budaya dan agam Islam, sebagai penerus kesultanan Demak.
Kerajaan
Mataram Islam saat itu menganut system Dewa – Raja. Yang berarti kekuasaan
tertinggi mutlak berada pada Sultan.
Sultan
Wijaya meninggal dan dimakamkan diKotagede dan digantikan putranya
bernama Mas jolang yang bergelar Prabu Hanyokrowati, pada masa ini tidak banyak
mengalami kemajuan dikarenakan beliau meninggal karena kecelakaan saat berburu
dihutan krapyak yang kemudian digantikan putra keempatnya yang bergelar Adipati
Martoputro, akan tetapi karena Adipati Martoputro menderita penyakit
syaraf maka tahta beralih ke putra sulung Mas jolang yang bernama
Raden Mas Rangsang, pada masa ini kerajaan mataram mengalami kemajuan dan
mengalami masa keemasan.
Setelah
menaklukan Madura beliau mengganti “ panembahan” dengan “Sesuhunan ( sunan)
kemudian menggunakan gelar “Susuhunan Hanyakrakusuma” terakhir tahun 1640
sehabis dari Makkah beliau menyandang gelar “Sultan Agung Senopati Ing Alaga
Abdurrahman “ dan beliau memindahkan lokasi kraton ke “Karta “ akibat terjadi
gesekan penguasaan perdagangan antara Mataram dan VOC yang berpusat di Batavia.
Setelah
Sultan Agung meninggal, digantikan putra beliau “Sesuhunan Amangkurat 1, beliau
memindahkan lokasi kraton ke Pleret pada tahun 1647 tidak jauh dari
“Karta”selain itu beliau juga tidak lagi menggunakan gelar sultan melainkan
Sunan ( Sesuhunan atau yang pertuan ) pada masa ini kerajaan Mataram
kurang stabil karena banyak ketidak puasan dan pemberontakan, pada masanya
terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh seorang bangsawan dari Madura
bernama Trunajaya yang akhirnya berhasil mengalahkan Mataram , Amangkurat
1 melarikan diri dan meningga dalam pelarianya yaitu di Tegalarum ( 1677
)sehingga mendapat julukan Sunan Tegalarum, kemudian diganti oleh putranya
Amangkurat II , beliau bergabung dengan VOC untuk mengalahkan
pasukan Trunajaya dan akhirnya berhasil .
Dalam
masa ini Amangkurat II sangat patuh kepada VOC sehingga menimbulkan ketidak
puasan dikalangan istana dan akhirnya banyak pemberontakan terjadi lagi. Pada
masa ini keraton Mataram dipindahkan ke Kartasura ( 1680 ).
Setelah
Amangkurat II meninggal diganti Amangkurat III, tetapi VOC tidak senang dengan
Amangkurat III karena dia menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I
sebagai raja, akibatnya Mataram memiliki dua raja dan inilah yang menjadikan
perpecahan Internal, Amangkurat III akhirnya memberontak tapi akhirnya kalah
dan ditangkap diBatavia lalu diasingkan di Ceylon,Srilanka.dan meninggal tahun 1734.
Kekacauan
politik dari masa kemasa akhirnya dapat terselesaikan pada masa Pakubuana
III setelah wilayah Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan
Suarakarta tanggal 13 Februari 1755, pembagian wilayah ini tertuang dalam
Perjanjian Gayanti , perjanjian Giyanti adalah kesepakatan yang dibuat oleh
pihak VOC, pihak Mataram( diwakili oleh Pakubuwana III) dan kelompok pangeran
Mangkubumi. Nama Giyanti diambil dari lokasi penjanjian tersebut ( ejaan
Belanda, sekarang tempat itu berlokasi didukuh Kerten , Desa Jantiharjo)
ditenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah, perjanjian ini menandai berakhirnya
kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen. Berdasarkan perrjanjian ini
wilayah Mataram terbagi menjadi dua, wilayah disebelah timur kali Opak dikuasai
oleh pewaris tahta Mataram yaitu Sunan Pakubuwana III dan tetap berkedudukan di
Surakarta, sementara wilayah disebelah barat diserahkan kepada Pangeran
Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono I yang
berkedudukan di Yogyakarta.
Perpecahan
terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara ( R.M Said) yang terlepas dari
kesunanan Surakarta dan Pakualaman ( P. Nata Kusuma) , dan keempat pecahan Mataram
Kesultanan Mataram tersebut masih melanjutkan dinasti masing – masing , bahkan
pecahan Mataram tersebut terutama kesultanan Yogyakarta masih cukup besar dan
diakui masyarakat.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar