Teori-teori Masuknya Islam ke Indonesia-
Islam datang ke Indonesia ketika pengaruh Hindu dan Buddha masih kuat.
Kala itu, Majapahit masih menguasai sebagian besar wilayah yang kini
termasuk wilayah Indonesia. Masyarakat Indonesia berkenalan dengan agama
dan kebudayaan Islam melalui jalur perdagangan, sama seperti ketika
berkenalan dengan agama Hindu dan Buddha. Melalui aktifitas niaga,
masyarakat Indonesia yang sudah mengenal Hindu-Buddha lambat laun
mengenal ajaran Islam. Persebaran Islam ini pertama kali terjadi pada
masyarakat pesisir laut yang lebih terbuka terhadap budaya asing.
Setelah itu, barulah Islam menyebar ke daerah pedalaman dan pegunungan
melalui aktifitas ekonomi, pendidikan, dan politik.
Kali ini kalian akan mempelajari jejak pengaruh agama dan kebudayaan Islam di berbagai wilayah di Indonesia serta proses persebarannya. Akan diuraikan pula proses bagaimana Islam, sebagai agama baru, mampu berasimilasi dengan budaya tradisional masyarakat Indonesia yang telah terpengaruh tradisi Hindu-Buddha.
Agama Islam pada akhirnya menyebar hingga ke Asia Tenggara dan Asia Timur. Hal ini terjadi akibat jalur perdagangan yang makin ramai, dengan dibukanya Bandar Hurmuz di Teluk Persia. Indonesia sebagai salah satu wilayah yang memiliki banyak pelabuhan, merupakan salah satu tujuan para saudagar asing untuk memperoleh barang dagang yang laku di pasaran internasional, terutama rempah-rempah.
Proses masuknya agama Islam ke Indonesia tidak berlangsung secara revolusioner, cepat, dan tunggal, melainkan berevolusi, lambat-laun, dan sangat beragam. Menurut para sejarawan, teori-teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia dapat dibagi menjadi:
a. Teori Mekah
Teori
Mekah mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah
langsung dari Mekah atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama
Hijriah atau abad ke-7 M. Tokoh yang memperkenalkan teori ini adalah
Haji Abdul Karim Amrullah atau HAMKA, salah seorang
ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka mengemukakan pendapatnya ini
pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis Perguruan
Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan
para sarjana Barat yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia
tidak langsung dari Arab. Bahan argumentasi yang dijadikan bahan rujukan
HAMKA adalah sumber lokal Indonesia dan sumber Arab. Menurutnya,
motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilainilai
ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam.
Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab
telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi.
Dalam
hal ini, teori HAMKA merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat yang
banyak kelemahan. Ia malah curiga terhadap prasangka-prasangka penulis
orientalis Barat yang cenderung memojokkan Islam di Indonesia. Penulis
Barat, kata HAMKA, melakukan upaya yang sangat sistematik untuk
menghilangkan keyakinan negeri-negeri Melayu tentang hubungan rohani
yang mesra antara mereka dengan tanah Arab
sebagai
sumber utama Islam di Indonesia dalam menimba ilmu agama. Dalam
pandangan HAMKA, orang-orang Islam di Indonesia mendapatkan Islam dari
orang- orang pertama (orang Arab), bukan dari hanya sekadar perdagangan.
Pandangan HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh
A.H. Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah (kaum
pengembara) yang telah melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum
Sufi biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk
mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat.
b. Teori Gujarat
Teori
Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal
dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di
India bagain barat, berdekaran dengan Laut Arab. Tokoh yang
menyosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda.
Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel dari
Universitas Leiden pada abad ke 19. Menurutnya, orang-orang Arab
bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal
Hijriyyah (abad ke
7 Masehi), namun
yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang
Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan
berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia. Dalam perkembangan
selanjutnya, teori Pijnapel ini diamini dan disebarkan oleh seorang
orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje.
Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan
Anak Benua India. Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan
dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Dalam pandangan
Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya.
Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di di depan namanya.
Gambar 3.3 Batu
nisan makam Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, bertahun 1419 M; batu
nisan tersebut diduga diimpor dari Cambay, Gujarat, India
Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang
wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh.
Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang
wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan
nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan
bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat
oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi
khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafei yang di anut
masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.
c. Teori Persia
Teori
Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal
dari daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini
adalah Hoesein Djajadiningrat, sejarawan asal Banten.
Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein lebih menitikberatkan
analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara
masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi
merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas
kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang
dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah
“tabut” (keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui
bahasa Parsi. Tradisi lain adalah ajaran mistik yang banyak kesamaan,
misalnya antara ajaran Syekh Siti Jenar dari Jawa
Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan,
keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya
dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad) dan membahayakan
stabilitas politik dan sosial. Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang
sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat
pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia.
Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei,
sama seperti kebanyak muslim di Iran.
d. Teori Cina
Teori
Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya
di Jawa) berasal dari para perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan
dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia.
Pada masa Hindu-Buddha, etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur dengan
penduduk Indonesia—terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam
telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru
berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan,
menurut kronik masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton,
Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat
sejumlah pemukiman Islam.
Teori Cina
ini bila dilihat dari beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal
(babad dan hikayat), dapat diterima. Bahkan menurut sejumlah sumber
lokat tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden
Patah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan
berasal dari Campa, Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam).
Berdasarkan Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar
raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah
Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin Bun”, “Cek Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta
“Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel” ditafsirkan
merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang
berbatasan dengan Rusia.
Bukti-bukti
lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Tiongkok yang
didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau
Jawa. Pelabuhan penting sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik,
misalnya, menurut catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para
pelaut dan pedagang Cina. Semua teori di atas masing-masing memiliki
kelemahan dan kelebihan tersendiri. Tidak ada kemutlakan dan kepastian
yang jelas dalam masing-masing teori tersebut. Meminjam istilah Azyumardi Azra,
sesungguhnya kedatangan Islam ke Indonesia datang dalam kompleksitas;
artinya tidak berasal dari satu tempat, peran kelompok tunggal, dan
tidak dalam waktu yang bersamaan.
Baca Juga : Berakhirnya Orde Baru dan Lahirnya Reformasi
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar