Masa remaja adalah masa transisi diri
periode anak ke dewasa. Apabila kita perhatikan dan kita ikuti pertumbuhan anak
sejak lahir sampai besar, akan didapatilah bahwa anak itu tumbuh secara
berangsur-angsur bersamaan dengan bertambahnya umur. Demikian pula halnya
dengan pertumbuhan identitas/konsep diri juga berkembang seiring dengan
bertambahnya berbagai pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya baik dari
pendidikan keluarga sekolah maupun dari masyarakat dimana ia tinggal
Identitas
remaja dapat diartikan sebagai berikut :
1. Identitas
dapat diartikan sebagai suatu inti pribadi yang tetap ada walaupun mengalami
perubahan bertahap dengan pertumbuhan umur dan perubahan lingkungan.
2. Identitas
dapat diartikan sebagai tata hidup tertentu yang sudah dibentuk pada masa-maa
sebelumnya dan menentukan peran sosial yang manakah yang harus dijalankan.
3. Identitas
merupakan hasil yang diperolehnya pada masa remaja, tetapi masih akan terus
mengalami perubahan dan pembaharuan.
4. Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa identitas merupakan suatu kesatuan.
Persatuan yang terbentuk dari asaz, cara hidup, pandangan-pandangan yang menentukan cara hidup selanjutnya. Persatuan ini merupakan inti seseorang yang menentukan cara meninjau diri sendiri dalam pergaulan diri sendiri dalam pergaulan dan tinjauan di keluar dirinya.
Persatuan yang terbentuk dari asaz, cara hidup, pandangan-pandangan yang menentukan cara hidup selanjutnya. Persatuan ini merupakan inti seseorang yang menentukan cara meninjau diri sendiri dalam pergaulan diri sendiri dalam pergaulan dan tinjauan di keluar dirinya.
Ciri-ciri
remaja menurut Hurlock (1992), antara lain :
a. Masa remaja
sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa remaja
akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi
perkembangan selanjutnya.
b. Masa remaja
sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi
dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas,
keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan
menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.
c. Masa remaja
sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh, minat
dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang
dianut, serta keinginan akan kebebasan.
d. Masa remaja
sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk
menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.
e. Masa remaja
sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit
diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak
orang tua menjadi takut.
f. Masa remaja
adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari
kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiridan orang lain
sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam
cita-cita.
g. Masa remaja
sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan didalam usaha
meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam memberikan kesan bahwa
mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman keras,
menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap
bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan. Disimpulkan
adanya perubahan fisik maupun psikis pada diri remaja, kecenderungan remaja
akan mengalami masalah dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal ini
diharapkan agar remaja dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik-baik dan
penuh tanggung jawab.
Ada
beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja.
1. Peningkatan
emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan
sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari
perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja.
2. Perubahan yang
cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan
ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri.
3. Perubahan
dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa
remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak
digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang.
4. Perubahan
nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi
kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
5. Kebanyakan
remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi
mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung
jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka
sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.
Ada
beberapa faktor penting dalam perkembangan identitas diri remaja adalah sebagai
berikut :
1) rasa percaya diri yang telah diperoleh dan senantiasa dipupuk dan dikembangkan
2) sikap berdiri sendiri
3) keadaan keluarga dengan faktor-faktor yang menunjang terwujudnya identifikasi diri
4) kemampuan remaja itu sendiri, taraf kemampuan intelektual para remaja.
Selain faktor tersebut diatas, ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam perkembangan identitas diri remaja yaitu faktor eksperimentasi (coba-coba, berpetualang).
1) rasa percaya diri yang telah diperoleh dan senantiasa dipupuk dan dikembangkan
2) sikap berdiri sendiri
3) keadaan keluarga dengan faktor-faktor yang menunjang terwujudnya identifikasi diri
4) kemampuan remaja itu sendiri, taraf kemampuan intelektual para remaja.
Selain faktor tersebut diatas, ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam perkembangan identitas diri remaja yaitu faktor eksperimentasi (coba-coba, berpetualang).
Peranan orang tua
dan sekolah sangat penting sebab remaja ini belum siap untuk bermasyarakat. Bimbingan
orang tua dan guru sangat diperlukan agar remaja tidak salah arah, karena
dimasyarakat amat banyak pengaruh negatif yang dapat menyengsarakan masa depan
remaja. Setelah itu ajaklah mereka berdiskusi dimana pendidik dapat
mendengarkan dengan sabar segala isi hati dan keluhan mereka. Biarkan mereka
bebas berkarya dan berekspresi tapi dengan catatan mereka harus tetap dibimbing
dan diawasi. Pengaruh Televisi Terhadap Perilaku Agresif Anak. Agresi jika
dipandang dari definisi emosional adalah hasil dari proses kemarahan.
Banyak
hal yang menyebabkan perbutan agresif ini yaitu
1) Tindakan agresif disebabkan oleh naluri agresif.
2) Agresif disebabkan oleh situasi yang amat sumpek atau tertekan.
3) Perbuatan agresif karena frustasi.
4) Perbuatan agresif karena adanya unsure atau rasa balas dendam.
1) Tindakan agresif disebabkan oleh naluri agresif.
2) Agresif disebabkan oleh situasi yang amat sumpek atau tertekan.
3) Perbuatan agresif karena frustasi.
4) Perbuatan agresif karena adanya unsure atau rasa balas dendam.
Masa remaja adalah masa transisi antara masa
kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum mencapai tahap kematangan mental
dan sosial sehingga mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial
yang saling bertentangan. Banyak sekali life events yang akan terjadi yang
tidak saja akan menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga kualitas hidup
generasi berikutnya sehingga menempatkan masa ini sebagai masa kritis.
Di negera-negara berkembang masa transisi ini
berlangsung sangat cepat. Bahkan usia saat berhubungan seks pertama ternyata
selalu lebih muda daripada usia ideal menikah.
Pengaruh informasi global (paparan media
audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk
mengadaptasi kebiasaan-kebiaasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman
berakohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian antar-remaja
atau tawuran. Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan
mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan
berperilaku seksual yang berisiko tinggi, karena kebanyakan remaja tidak
memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas
serta tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan
reproduksi, termasuk kontrasepsi.
Kebutuhan dan jenis risiko kesehatan
reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dari anak-anak
ataupun orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi
remaja antara lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS),
ke-kerasan seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan
pelayanan kesehatan. Risiko ini dipe-ngaruhi oleh berbagai faktor yang saling
berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan jender, kekerasan seksual dan
pengaruh media massa maupun gaya hidup.
Khusus bagi remaja putri, mereka kekurangan
informasi dasar mengenai keterampilan menegosiasikan hubungan seksual dengan
pasangannya. Mereka juga memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan
pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan
pengambilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan dan
kehamilan serta mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki (FCI, 2000). Bahkan
pada remaja putri di pedesaan, haid pertama biasanya akan segera diikuti dengan
perkawinan yang menempatkan mereka pada risiko kehamilan dan persalinan dini.
Kadangkala pencetus perilaku atau kebiasaan
tidak sehat pada remaja justru adalah akibat
ketidak-harmonisan hubungan ayah-ibu, sikap orangtua yang menabukan pertanyaan anak/remaja tentang fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta frekuensi tindak kekerasan anak (child physical abuse).
ketidak-harmonisan hubungan ayah-ibu, sikap orangtua yang menabukan pertanyaan anak/remaja tentang fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta frekuensi tindak kekerasan anak (child physical abuse).
Mereka cenderung merasa risih dan tidak mampu
untuk memberikan informasi yang memadai mengenai alat reproduksi dan proses
reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa takut di kalangan orangtua
dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu perkembangan organ reproduksi dan
fungsinya justru malah mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah.
Kondisi lingkungan sekolah, pengaruh teman,
ketidaksiapan guru untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi, dan
kondisi tindak kekerasan sekitar rumah tempat tinggal juga berpengaruh.
Remaja yang tidak mempu-nyai tempat tinggal
tetap dan tidak mendapatkan perlin-dungan dan kasih sayang orang tua, memiliki
lebih banyak lagi faktor-faktor yang berkontribusi, seperti: rasa kekuatiran
dan ketakutan yang terus menerus, paparan ancaman sesama remaja jalanan,
pemerasan, penganiayaan serta tindak kekerasan lainnya, pelecehan seksual dan
perkosaan. Para remaja ini berisiko terpapar pengaruh lingkungan yang tidak
sehat, termasuk penyalahgunaan obat, minuman beralkohol, tindakan kriminalitas,
serta prostitusi.
Pelayanan
Kesehatan Reproduksi bagi Remaja
Pilihan dan keputusan yang diambil seorang remaja sangat tergantung kepada kualitas dan kuantitas informasi yang mereka miliki, serta ketersediaan pelayanan dan kebijakan yang spesifik untuk mereka, baik formal maupun informal.
Pilihan dan keputusan yang diambil seorang remaja sangat tergantung kepada kualitas dan kuantitas informasi yang mereka miliki, serta ketersediaan pelayanan dan kebijakan yang spesifik untuk mereka, baik formal maupun informal.
Sebagai langkah awal pencegahan, peningkatan
pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi harus ditunjang dengan materi
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas tentang penyebab dan
konsekuensi perilaku seksual, apa yang harus dilakukan dan dilengkapi dengan
informasi mengenai saranan pelayanan yang bersedia menolong seandainya telah
terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau tertular ISR/PMS. Hingga saat ini,
informasi tentang kesehatan reproduksi disebarluaskan dengan pesan-pesan yang
samar dan tidak fokus, terutama bila mengarah pada perilaku seksual.
Di segi pelayanan kesehatan, pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana di Indonesia hanya dirancang
untuk perempuan yang telah menikah, tidak untuk remaja. Petugas kesehatan pun
belum dibekali dengan kete-rampilan untuk melayani kebutuhan kesehatan
reproduksi para remaja.
Jumlah fasilitas kesehatan reproduksi yang
menyeluruh untuk remaja sangat terbatas. Kalaupun ada, pemanfaatannya relatif
terbatas pada remaja dengan masalah kehamilan atau persalinan tidak
direncanakan. Keprihatinan akan jaminan kerahasiaan (privacy) atau kemampuan
membayar, dan kenyataan atau persepsi remaja terhadap sikap tidak senang yang ditunjukkan
oleh pihak petugas kesehatan, semakin membatasi akses pelayanan lebih jauh,
meski pelayanan itu ada. Di samping itu, terdapat pula hambatan legal yang
berkaitan dengan pemberian pelayanan dan informasi kepada kelompok remaja.
Karena kondisinya, remaja merupakan kelompok
sasaran pelayanan yang mengutamakan privacy dan confidentiality. Hal ini
menjadi penyulit, mengingat sistem pelayanan kesehatan dasar di Indonesia masih
belum menempatkan kedua hal ini sebagai prioritas dalam upaya perbaikan kualitas
pelayanan yang berorientasi pada klien.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar